Rabu, 06 Oktober 2010

Tentang DPD

SEJARAH DEWAN PERWAKILAN DAERAH
[Tulisan ini sebagian disadur dari buku yang dibuat oleh Tim Peneliti PSHK, Semua Harus Terwakili, (Jakarta: PSHK, 2000) dan tulisan-tulisan Bivitri Susanti]
Oleh: Bivitri Susanti, Herni Sri Nurbayanti dan Fajri Nursyamsi

  1. Gagasan Awal pada Sejarah Pembentukan DPD
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.
Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya,  keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15).
Gagasan tersebut terus bergulir, sampai pada masa pendirian Republik ini pun, gagasan untuk membentuk lembaga perwakilan daerah di parlemen nasional ikut dibahas. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dikatakannya:
Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia.
(Sekretariat Negara RI, 1995).

  1. Pengaturan Perwakilan Daerah dalam Konstitusi Indonesia
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagsan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.
Selanjutnya, dalam UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap mengakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan Indonesia. Karena itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (kemudian terlaksana pada tahun 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena bentuk negara tidak lagi federal.
Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, “utusan daerah” kembali hadir. Dekrit ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPR Sementara (MPRS) dan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan Presiden No. 12/1959 ini menetapkan bahwa MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu 1955) ditambah utusan daerah dan golongan karya. Anggota MPRS tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan melalui penunjukan oleh Soekarno (Jaweng, 2005). Kemudian Soekarno memangkas fungsi, kedudukan, dan wewenang MPRS melalui Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960 sehingga MPRS hanya bisa menetapkan GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.
Pada masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang.


  1. Proses Lahirnya DPD dalam Pembahasan Amandemen Ketiga UUD 1945
Munculnya gagasan bikameral bermula dari pernyataan resmi Fraksi Utusan Golongan (F-UG) dalam rapat Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang ditugaskan mempersiapkan materi Sidang MPR. Fraksi UG mengemukakan bahwa keberadaannya tidak diperlukan lagi di MPR karena merupakan hasil pengangkatan dan bukan pemilihan. Hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang menghendaki bekerjanya prinsip perwakilan berdasarkan pemilihan.  Anggota UG memaparkan dua pilihan yang tersedia. Pertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui Pemilu.
Lalu muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran UD yang perannya terbatas pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif. Tidak hanya sekali dalam lima tahun.
MPR lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan yang merupakan hasil BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan batas waktu pembahasan dan pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Materi mengenai DPD dalam UUD NRI 1945 tercantum pada Bab VIIA Pasal 22D dan 22E. Untuk usulan Pasal 22E ayat (2), diajukan dua alternatif. Selengkapnya, usulan kedua pasal tersebut, yaitu:
Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22D
  1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
  2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Susunan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22E
  1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Alternatif  1
  1. Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak; fiskal; agama; otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Alternatif 2
  1. Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak; fiskal; agama, serta ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang megenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak dan fiskal, dan agama serta meyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  3. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya berdasarkan putusan Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah apabila terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana penyuapan, korupsi, dan tindak pidana lainnya yang diancam dengan hukuman pidana penjara lima tahun atau lebih, atau melakukan perbuatan yang tercela lainnya.
BP MPR kemudian menyiapkan kegiatan yang meliputi penggalian aspirasi masyarakat, pembahasan dan perumusan rancangan, uji sahih rumusan dan pembahasan akhir. Untuk keperluan ini dibentuklah Panitia Ad Hoc I (PAH I).  
Jalan menuju pembentukan sistem bikameral tidak semulus yang diharapkan. Upaya yang selanjutnya dilakukan adalah menghilangkan utusan daerah dan utusan golongan dalam MPR. Namun, upaya ini menimbulkan reaksi pro-kontra.
Berdasarkan Keputusan MPR No. 7/MPR/2001 dibentuk Komisi A yang bertugas memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai Rancangan Perubahan UUD 1945 dan Usul Rancangan Ketetapan MPR tentang Pembentukkan Komisi Konsitusi. Jumlah anggota Komisi A sebanyak 162 orang yang terdiri dari:
  1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (42 orang)
  2. Fraksi Partai Golkar (43 orang)
  3. Fraksi Utusan Golongan (16 orang)
  4. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (15 orang)
  5. Fraksi Kebangkitan Bangsa (13 orang)
  6. Fraksi Reformasi (11 orang)
  7. Fraksi TNI/POLRI (11 orang)
  8. Fraksi Partai Bulan Bintang (3 orang)
  9. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (4 orang)
  10. Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah (3 orang)
  11. Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (1 orang)
Ketua Komisi A adalah Jakob Tobing (F-PDIP). Wakil Ketua Komisi A terdiri dari Slamet Effendy Yusuf (F-PG), Harun Kamil (F-UG), Zain Badjeber (F-PPP) dan Maruf Amin (F-KB).
Mekanisme pembahasan dilakukan tiap bab dengan dua putaran. Pada putaran pertama, pembahasan melalui curah pendapat anggota Komisi A. Lalu diteruskan dengan putaran kedua yang merupakan pendapat fraksi. Hasil pembahasan tiap fraksi tersebut dilanjutkan dengan lobi.
Selanjutnya, dilakukan perumusan oleh tim lobi dan tim perumus yang terdiri dari pimpinan komisi dan satu orang wakil dari masing-masing fraksi.
Dalam pembahasan di komisi A tersebut, dalam Pasal 2 ayat (1) muncul dua alternatif.  Pertama, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum ditambah dengan UG. Kedua, keberadaan UG dihapuskan dari susunan MPR. Hampir seluruh fraksi di Komisi A memilih alternatif kedua. Namun, hal ini ditolak tegas oleh F-UG sehingga sempat mengalami deadlock.
Sementara di sisi lain, Fraksi TNI dan Polri, yang dipilih berdasarkan pengangkatan, tidak lagi memaksa untuk menjadi wakil di MPR pada periode transisi hingga tahun 2009, meski jalan keluar yang disepakati adalah mengurangi jumlah keanggotaan fraksinya. Hal ini disebabkan karena TNI dan POLRI tidak memiliki hak pilih.
Suasana deadlock ini memicu bergulirnya ide perlu dibentuknya Panitia Nasional Perubahan UUD 1945 atau Komisi Konstitusi yang secara independen membahas perubahan UUD 1945. Hal ini demi menghindari campur tangan kepentingan politik dibandingkan bila dilakukan di dalam tubuh MPR. Gagasan ini diadvokasikan oleh Koalisi untuk Konstitusi Baru, sebuah koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi non-pemerintah dan individu untuk mendorong dibentuknya konstitusi baru melalui Komisi Konstitusi. Namun ide ini ditolak oleh beberapa fraksi yang ada di Komisi A. Alasannya, sudah ada BP MPR dan tim ahli yang mengerjakan pekerjaan Komisi Konstitusi tersebut.
Pada Sidang Paripurna ke-7, pada tanggal 8 November 2001, Komisi A menyampaikan hasil pembahasannya yang disahkan keesokan harinya sebagai bagian dari perubahan ketiga UUD 1945. Rumusan ini akhirnya disetujui sebagai bagian dari UUD 1945 yang diamandemen. Ketentuan mengenai DPD yang disetujui adalah sebagai berikut:
Bab VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
Pasal 22 C
  1. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
  2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
  4. Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D
  1. Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  2. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
  3. Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
  4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

  1. DPD dan Sejarah Konsep Bikameral a la Indonesia
Gagasan mengenai sistem perwakilan bikameral di Indonesia yang mengemuka pada amandemen UUD 1945, tahun 1999-2002, berangkat dari kritik terhadap struktur ketatanegaraan yang dianut di Indonesia, terutama hubungan antara MPR, DPR, dan Presiden. Pemikiran mengenai hal ini telah digulirkan jauh sebelum amandemen terhadap pasal mengenai MPR dilakukan pada tahun 2001, salah satunya dikemukakan oleh PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia) pada tahun 2000.
PSHK melakukan penelitian mengenai sistem ketatanegaraan, yang dituangkan dalam bukunya yang bertajuk “Semua Harus Terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia” (Jakarta: PSHK, 2000). Studi ini menunjukkan adanya beberapa persoalan mendasar dalam struktur MPR.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut adalah, Pertama, permasalahan representasi. Total keanggotaan MPR sebelum amandemen UUD 1945 ditetapkan sebanyak 1000 orang (sebelumnya 900 orang). Dari jumlah tersebut, terdapat 425 orang (sebelumnya 400 orang) anggota DPR yang merangkap sebagai anggota MPR (anggota MPR/DPR) dan sisanya merupakan anggota MPR yang bukan merupakan anggota DPR, yaitu Utusan Daerah (UD) dan Utusan Golongan (UG). Dengan demikian, ada dua jenis keanggotaan MPR, yaitu: anggota MPR/DPR dan anggota MPR yang bukan anggota DPR. Belum ada penjelasan yang memadai tentang struktur MPR tersebut serta alasan mengapa ada lembaga MPR dan DPR yang terpisah. Alasan yang bisa diperkirakan, menurut Bagir Manan, adalah keanggotaan MPR diperluas dengan hadirnya utusan daerah dan utusan golongan, di samping anggota DPR itu sendiri (Bagir Manan, Republika 8 Juni 2000).
Lebih jauh lagi, Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak merepresentasikan kelompok masyarakat yang diwakilinya secara nyata. Utusan Golongan dimaksudkan mewakili kelompok-kelompok masyarakat yang tidak partisan partai politik. Namun, mekanisme penentuan “golongan” tidak jelas. Pada kenyataannya, anggota Utusan Golongan berasal dari golongan cendekiawan hingga bintang film. Pertanyaan retorik muncul: apakah “golongan” yang dimaksud dirasa belum cukup terwakilkan dalam partai politik?
Masalah representasi juga menyangkut intervensi dan dominasi politik Presiden terhadap penentuan anggota MPR yang dipilih melalui pengangkatan. Hal ini terefleksikan dalam UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Proses pengangkatan ini dilakukan melalui Keputusan Presiden. Anggota utusan daerah pada prakteknya merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi.
Kedua, ada ketidakjelasan sistem perwakilan yang dianut yang menyebabkan tidak berjalannya mekanisme checks and balances. Peran lembaga legislatif praktis hanya dilaksanakan oleh DPR, sementara anggota MPR dari utusan daerah dan utusan golongan tidak bisa dikategorikan sebagai legislatif karena kerjanya yang terbatas setiap lima tahun. Sehingga, berangkat dari keinginan untuk mengefektifkan utusan daerah, gagasan bikameral kembali dilirik.
Penjelasan sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya ada satu dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara dalam sistem bikameral, ada dua “kamar” dalam parlemen yang bekerja berdampingan. Biasanya, kamar pertama merepresentasikan jumlah penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar kedua merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris), yang diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada model Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah yang dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya.
Dua model ini lahir dari situasi politik yang berbeda. Model Westminster lahir karena “evolusi” sistem pemerintahan di Inggris selama berabad-abad. Sehingga pada suatu saat tradisi feodal yang dimoderenkan membuat para bangsawan dikelompokkan dalam kamar tersendiri dalam parlemen. Maka anggota kamar kedua biasanya hasil penunjukan, bukan pemilihan. Negara-negara lain pun, yang umumnya bekas jajahan Inggris (misalnya Kanada), kemudian mengikuti model ini. Karena sifat feodalistiknya ini, keberadaan House of Lords di Inggris sendiri mulai dipertanyakan dan sudah ada kampanye agar anggota House of Lords dipilih oleh rakyat. Di sisi lainnya, model Amerika Serikat lahir karena kebutuhan mengelola -secara ekonomi dan politik- wilayah yang demikian besar dan masyarakat yang plural dalam suatu negara. Oleh sebab itulah, model kedua ini menjadi terlihat lebih dekat dengan konsep negara federal. Meski sebenarnya persoalan “fakta” geopolitik mestinya dipisahkan dengan “disain bentuk negara” (federal atau kesatuan). 
Terlihat dari uraian di atas, dalam konteks Indonesia, model kedua dianggap lebih relevan, yaitu suatu parlemen bikameral dengan kamar kedua yang dipilih oleh wilayah-wilayah yang perlu diwakilkan dalam parlemen. Namun masalahnya, karena seakan identik dengan negara federal, konsep ini menjadi tidak diterima secara utuh sewaktu proses amandemen konstitusi berlangsung. “Hantu” federalisme dianggap bisa membawa perpecahan dan pemisahan diri. Apalagi, seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, referensi bikameral dalam konteks sejarah Indonesia hanyalah Senat RIS pada masa penerapan federalisme, yang dipaksakan Belanda untuk memecah dan mengokupasi kembali wilayah-wilayah nusantara.
Sehingga menjadi suatu pertanyaan besar dalam konteks ini, yaitu akankah bikameralisme mendorong federalisme dan kemudian perpecahan (balkanisasi)? Politik, tentu saja bukan seperti ramalan cuaca yang bisa diperkirakan dengan akurat. Namun satu faktor penting yang perlu dilihat adalah berubahnya pola hubungan pusat dan daerah sendiri sejak 1999. Perubahan ini diawali dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lalu Amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mempertegas perubahan ini dengan menyatakan dalam Pasal 18 UUD NRI 1945 bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”
Pernyataan mengenai ‘otonomi luas’ ini mengandung gagasan pemberdayaan politik dan ekonomi daerah. Secara implisit ada pernyataan bahwa pemerintahan daerah harus lebih banyak berperan, dan pada saat yang bersamaan pemerintah pusat harus memfasilitasinya. Fasilitasi kepentingan daerah oleh pemerintah pusat dilakukan dengan adanya urusan-urusan yang diidentifikasi sebagai persoalan yang akan dapat mempengaruhi negara secara makro. Urusan inilah yang diidentifikasi sebagai isu nasional, atau enam hal ‘urusan pemerintah pusat’ yang dituangkan dalam UU 32/2004. Untuk mengurusi enam hal itu secara maksimal, pemerintah pusat mestinya memperhatikan kebutuhan daerah dengan memfasilitasinya dalam pembentukan kebijakan yang bersifat nasional. Bukan dalam konteks membuat kebijakan teknis dan mengawasi pelaksanaan otonomi daerah seperti yang dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Dalam Negeri. Melainkan dalam konteks pembuatan kebijakan nasional dalam suatu lembaga legislatif. Perbedaan kapasitas berbagai daerah dalam melaksanakan otonominya, perbedaan karakter daerah, dan perbedaan tingkat kemampuan ekonomi daerah, membutuhkan adanya kebijakan tingkat nasional yang bisa mengakomodasi perbedaan ini secara makro.
Bila cara pandang ini disetujui, maka akomodasi kepentingan dan kebutuhan daerah dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat melalui DPD menjadi suatu konsekuensi yang logis, bahkan apabila dikaji lebih dalam, ada dua argumentasi mengenai kebutuhan akan bikameral yang efektif di Indonesia (lihat juga Kelompok DPD di MPR RI, 2006). Pertama, dan yang paling utama, adalah untuk membawa kebutuhan dan kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional. DPR sendirian masih belum cukup untuk dapat melakukan peran ini. Dikatakan belum cukup karena ada indikasi-indikasi kuat kearah itu, misalnya, masih banyaknya undang-undang yang belum dapat secara maksimal mengakomodasi kepentingan daerah. Buktinya adalah banyak undang-undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk uji materil dengan alasan tidak mengakomodasi kebutuhan daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri sudah beberapa kali diajukan ke MK oleh berbagai pihak karena muatannya tidak memperhatikan realitas politik yang ada di daerah. Contoh lainnya adalah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang diajukan oleh DPRD Jawa Timur dan beberapa pihak lainnya karena penyelenggaraan jaminan sosial di seluruh Indonesia, menurut undang-undang ini, diselenggarakan hanya oleh empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sehingga menghambat tercapainya tujuan pemberian otonomi kepada daerah. Juga, banyak persoalan di daerah belakangan ini yang tidak dapat direspons dengan cepat dan memadai oleh Pemerintah, sehingga membutuhkan perwakilan rakyat yang efektif guna mendorong pemerintahan yang lebih responsif. Kebutuhan yang kedua adalah untuk mendorong adanya kekuatan politik penyeimbang di dalam parlemen agar kekuasaan legislatif tidak terkonsentrasikan pada satu lembaga. Seperti dikatakan oleh Sartori:
“Mengonsentrasikan seluruh kekuasaan legislatif hanya pada satu badan tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak bijaksana: dua mata lebih baik daripada satu mata dan kehati-hatian membutuhkan adanya proses pengambilan keputusan yang dikontrol dan dibatasi”
(Sartori, 1997: 184)
Persoalannya bukan pada tubuh DPR itu sendiri, tapi memang keberadaan suatu kamar lain di dalam legislatif akan menjadi kekuatan penyeimbang yang penting. Dengan adanya DPD yang berkedudukan setara, walau mungkin akan dibentuk dengan fokus wewenang yang berbeda, akan ada mitra DPR untuk membahas segala keputusan yang diambilnya. Dengan begitu, segala keputusan yang diambil oleh legislatif telah melalui pertimbangan yang lebih baik. Apalagi sifat kelembagaan yang berbeda yang disebabkan oleh asal muasal anggotanya akan menyebabkan adanya perbedaan pandangan, yang pada gilirannya akan membuat keputusan lebih seksama dipertimbangkan. Dengan kata lain, adanya DPD yang setara adalah juga suatu model pembatasan kekuasaan.
Di samping itu, adanya DPD sebagai mitra setara DPR juga akan memicu suatu pembaruan kelembagaan yang penting di dalam tubuh legislatif. Kamar kedua yang kuat akan menjadi mitra yang baik DPR. Bukan hanya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga mendorong adanya persaingan sehat antar-lembaga dalam hal etika politik dan pembaruan sistem kerja. Persaingan ini diharapkan akan membuat DPR dan DPD menjadi lebih baik.


  1. Lemahnya DPD dalam Konteks Perbandingan UU Susduk dan UU 27/2009
Kritik yang sering ditujukan kepada perubahan ketiga UUD adalah lemahnya wewenang DPD. Sehingga, konsep bikameral tersebut sering dibahasakan sebagai “weak bicameral” atau “soft bicameral”. Istilah ini muncul dalam sistem parlemen di Indonesia, karena DPD mempunyai wewenang yang sangat terbatas dan hanya terkait dengan soal-soal kedaerahan.
Dalam konstitusi ditentukan bahwa DPD hanya “dapat” mengajukan RUU, “ikut membahas” RUU dan “dapat” melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, dengan catatan bahwa kewenangan tersebut hanya terbatas pada undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah (Pasal 22D UUD NRI 1945). Wewenang ini kemudian dirinci lebih lanjut dalam UU No.27 tahun 2009, sebagai pengganti dari UU Susduk, yaitu sebagai berikut:
Pasal 224
  1. DPD mempunyai tugas dan wewenang:
  2. dapat mengajukan kepada DPR rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
  3. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  4. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  5. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
  6. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
  7. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
  8. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
  9. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
  10. ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dari keseluruhan wewenang tersebut dapat terlihat bahwa porsi kewenangabn DPD hanya berkisar dalam tahap pembahasan dengan DPR. Artinya, keputusan mengenai undang-undang sepenuhnya ada di tangan DPR dan pemerintah. Kondisi tersebut dapat memunculkan satu pertanyaan besar, yaitu betulkah Indonesia saat ini menerapkan bikameral lemah atau ‘weak bicameralism’ atau ‘soft bicameralism’?
Yang terlupakan dalam argumen ini adalah bahwa konsep bikameral sendiri sebenarnya tidak diterapkan. Pernyataan yang terdengar melawan arus ini didasarkan pada premis bahwa konsep bikameral lahir justru untuk mendorong adanya checks and balances di dalam lembaga perwakilan. Kata kunci dalam konteks parlemen bikameral (dan dalam politik secara umum) adalah ‘kompetisi’. Perlu ada ‘kompetisi’ antara dewan tinggi dan dewan rendah untuk memunculkan kondisi saling mengontrol yang menimbulkan keseimbangan politik (checks and balances) di dalam parlemen. Selain itu, kebutuhan akan adanya dua dewan dalam satu lembaga perwakilan adalah juga untuk mewakili konstituensi yang berbeda sehingga terjadi proses deliberasi yang lebih baik.
Untuk memberikan gambaran mengenai “kompetisi politik” antara dua kamar ini, penelitian yang dilakukan oleh Arend Lijphart terhadap 36 negara yang menganut sistem bikameral dapat dijadikan referensi. Lijphart menyimpulkan adanya dua karakter untuk melihat keberadaan sistem bikameral yang diterapkan kuat (strong bicameralism) atau lemah (weak bicameralism) (Lijphart, 1999: 203-205). Pertama, kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh kedua kamar. Kecenderungannya, kamar kedua (Senate di Amerika Serikat, Bundesrat di Jerman, atau DPD di Indonesia) biasanya mempunyai kewenangan yang lebih kecil daripada kamar pertama (House of Representatives di Amerika Serikat, Bundestag di Jerman, atau DPR di Indonesia). Kedua, signifikansi politik kamar kedua tergantung tidak hanya dari kekuatan formal mereka, melainkan juga dari cara pemilihan anggotanya.
Kedua karakter ini saling berkaitan. Kamar kedua yang anggotanya tidak dipilih secara langsung mempunyai legitimasi yang minimal dan karenanya biasanya mempunyai peran politik yang kurang penting. Oleh sebab itu, ada tendensi kamar kedua, yang anggotanya punya legitimasi kuat karena dipilih secara langsung, diberikan wewenang yang lebih kecil daripada kamar pertama. Dari kedua karakter ini, Lijphart kemudian mengklasifikasi parlemen bikameral menjadi dua kelompok, yaitu simetris dan asimetris. Bikameral dikatakan simetris bila kekuatan di antara kamar pertama dan kedua relatif setara dan disebut asimetris bila kekuatan di antara keduanya sangat tidak berimbang.
Soalnya, DPD bahkan tidak mempunyai ‘kekuatan konstitusional’ untuk berkompetisi. Karena DPD sesungguhnya tidak mempunyai wewenang sampai pada tingkat pengambil keputusan, termasuk dalam proses legislasi. Seluruh ‘wewenang’ DPD hanya sampai pada tingkat memberikan pertimbangan. Kalaupun ia dapat mengajukan rancangan undang-undang, kekuatannya pun tidak mutlak karena Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 sudah jelas menyatakan bahwa kekuasaan legislasi ada pada DPR, dan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Terlihat jelas, pengambilan keputusan mengenai legislasi hanya dilakukan oleh DPR dan Presiden. DPD dapat ikut membahas, tetapi tidak untuk mengambil keputusan. Demikian pula dalam hal mengusulkan rancangan undang-undang. Tata Tertib DPR kemudian memang mengatur adanya pembahasan terhadap rancangan undang-undang usulan DPD, tetapi komisi terkait di DPR dan Badan Legislatif DPR bisa menolak rancangan tersebut dan tidak diwajibkan untuk menerimanya.
Begitu pula dalam konteks fungsi pengawasan, DPD hanya memberikan pertimbangan, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh DPR melalui tiga hak kelembagaan DPR, yaitu hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat (Pasal 224 ayat (1) huruf f UU No. 27/2009).  Dengan hal ini semakin terlihat jelas bahwa DPD seakan hanya menjadi penasehat DPR dalam soal-soal yang berkaitan dengan daerah, tanpa memiliki suara untuk menentukan kebijakan. Di sinilah letak kelemahan konsep “bikameral” yang diperkenalkan dalam UUD dan UU Susduk. Interaksi antara DPD dan DPR dalam prosedur legislasi, pengawasan, dan anggaran dianggap bukan dalam prosedur kelembagaan melainkan berupa masukan yang bersifat fakultatif sebelum pembahasan.
Jadi, bila mau “ketat konsep”, parlemen bikameral sesungguhnya belum diterapkan. DPD adalah sebuah semacam lembaga penasehat, walau memiliki kekuatan politik karena legitimasinya yang lahir dari pemilihan langsung. Namun tentu saja, secara realpolitik, ia sudah lahir dan tidak bisa dinegasikan karena alasan teoritik. Karenanya, harus ada kerja politik yang harus dilakukannya. Maka, sebelum konsepnya dibenahi secara sungguh-sungguh, DPD harus pandai mencari celah untuk menguatkan dirinya dengan menggunakan legitimasi politiknya sebagai lembaga hasil pemilihan langsung yang berada di Senayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar